Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:

Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka
tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan
siksa baginya.sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)

…Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.

Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada perak, diwajibkan zakat
sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat
emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:(Riwayat al-Bukhâri)
|
1.
|
Nishab adalah batas minimal
dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia
wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya
diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya
telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas
dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui
batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban
membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu
di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap
kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
|
|
2.
|
Nishab emas, adalah 20 (dua
puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
|
|
3.
|
Nishab perak, yaitu sebanyak 5
(lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
|
|
4.
|
Kadar zakat yang harus
dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
|
|
5.
|
Perlu diingat, bahwa yang
dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni
(24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat. |
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak
yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau
perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada
yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia membayarnya
dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau
perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas
seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan
zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga
dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga
emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang
sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh
berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi
seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya.
Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih
bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri
pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk
uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di
pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli,
tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas
telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram
emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat,
harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman
dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan
harga pada saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan
berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi
kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar
barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis -
terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari
alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak
sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar
manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan
adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir
untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak
itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang
kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang,
menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan
bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan
hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian,
berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang
memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia
wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan
untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh
berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,-
sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian,
nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan
nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp
1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas
ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas
melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp.
16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan
perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu
Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan
bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan
nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar
:
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp.
400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada
keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah
satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang
lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah
dicapai tersebut”.[9]
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang
zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau
perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab
perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang
memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1
gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp.
13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun
masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab,
akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai
nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban
membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp.
13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang
mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang
pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan
untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang
menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah
payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang
kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani,
tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para
penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari
gajinya dengan sebutan zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka
kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara
sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
|
1.
|
Zakat
hasil pertanian adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa
memerlukan biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya.
Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini
merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
|
|
2.
|
Gaji
diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan
hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan
standar nilai barang.
|
|
3.
|
Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia
secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman
dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu:
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu
pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Pada
awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan
tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Bila engkau diberi sesuatu tanpa
engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang
sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa
dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun
bertanya kepadanya:
“Hendak kemanakah engkau?”Abu Bakar menjawab: “Ke pasar”. ‘Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu”. (Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi) Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini. ![]()
Sungguh, kaumku telah
mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. (Riwayat Bukhâri) Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun). |
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada
pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh,
beliau berkata:
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci,
bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu
nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau
belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib
dizakati”.[11]
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota
Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan
berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara
harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara
syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun
sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada
gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik
gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan
uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk
menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun
sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada
Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai
hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya
mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam berikut:

Tidaklah shadaqah itu akan
mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu
pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at
Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar